Beberapa waktu lalu, sebuah video viral di media GWA ihwal seorang polisi memberikan sepeda motor dan sejumlah uang kepada seorang guru honorer di sekolah pedalaman di wilayah Kabupaten Jombang. Pak polisi memberikan hadiah tersebut karena simpatinya pada perjuangan pak guru yang bersedia mengabdi di wilayah pinggiran, sebuah wilayah yang kerap terlewatkan dari deru mesin pembangunan.
Adalah Andik Santoso, seorang guru honorer dari pelosok lamongan selatan yang sehari-harinya mengajar di wilayah pedalaman hutan perbatasan lamongan jombang. Untuk bisa mengajar, Pak Andik membutuhkan waktu 2 hingga 3 jam perjalanan, dan harus berjibaku dengan medan yang ekstrim. Apalagi jika musim penghujan tiba, jalan setapak yang harus dilalui bukan hanya terjal, bahkan tak layak disebut jalan. Tersebab ekstrimnya jalan, kabarnya pak guru kita ini telah menghabiskan 9 motor. Duh!
Tidak tanggung-tanggung, Pak Andik mementaskan lakon perjuangan hidup itu tidak dalam bilangan satu dua tahun, tapi lebih dalam hitungan dasawarsa: 17 tahun. Gaji pak guru pun tidak sebagaimana gaji wakilnya yang merangsang liur, hanya berkisar ratusan ribu rupiah. Jangankan untuk kebutuhan hidup, untuk beli bensin motor bututnya pun tak cukup. Hal-hal semacam itulah yang membuat Pak Polisi bersimpati, dan ingin mengetahui secara langsung kondisi Pak Andik ketika melakukan perjalanan ke sekolah.
Begitulah, banyak ironi kehidupan berseliweran di sekitar kita. Di tempat berbeda, Anda tentu tak pernah membayangkan, jika ada seorang guru non PNS dari lembaga pendidikan yang berbeda, bahkan tak mau dibayar sepeserpun ketika mengajar. Pak guru ini mengampu disiplin ilmu yang tak dikuasai cukup banyak orang, sangat menguasai materi sehingga tak pernah membawa buku ketika mengajar. Beliau bahkan hapal batasan materi yang akan diberikan pada muridnya, meski tak di tulis di jurnal pembelajaran.
Ketika ditanyakan padanya mengapa tak bersedia dibayar ketika mengajar. Dengan ringan Pak Guru menjawab,”Guru saya dulu tak pernah mau menerima bayaran dari muridnya ketika mengajar. Saya malu jika gegara mengajar, saya lantas meminta bayaran dari murid-murid saya.” Lantas, bagaimana pak guru bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya di tengah harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, dari tahun ke tahun?
Adalah seorang guru zaman dulu ketika belum ada program sertifikasi guru dan tunjangan profesi pendidik. Di sela-sela waktu mengajarnya, pak guru membuka usaha bengkel motor untuk menopang ekonomi keluarga. Tak disangka, usaha tersebut ternyata banyak mendatangkan pelanggan. Kian hari kian banyak sepeda yang membutuhkan jasanya. Pak guru jadi berpikir, dari pada mengajar yang tak jelas bayarannya, tidakkah lebih baik menekuni profesi barunya agar lebih professional supaya tak hanya dilakukan paruh waktu? Alhasil, ia pun memutuskan berhenti mengajar.
Justru ketika tidak mengajar itulah kenyataan berkata lain. Bengkel motornya mendadak sepi pelanggan, orang-orang yang biasanya berbondong-bondong menggunakan jasanya raib entah kemana. Pak guru akhirnya hanya mampu menerawang dengan gumaman tak jelas keluar dari mulutnya. Inilah barangkali yang dimaksud dengan konsep barokah. Ini mungkin yang dinamakan rezeki yang tak disangka-sangka.
Kisah-kisah di atas tentu tak bertujuan agar para guru honorer saat ini tak menuntut haknya ketika memutuskan diri mengabdikan diri di dunia pendidikan. Apalagi mencela guru honorer yang menuntut diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan kompetensi yang mungkin belum teruji. Di tengah regulasi yang mungkin tak sesuai harapan, setidaknya ketika keputusan mengabdi itu memang murni untuk masa depan anak negeri, Tuhan pasti memiliki jalannya sendiri bagaimana agar para guru itu tetap survive di tengah problematika kehidupan.
***
Dalam sebuah kitab klasik karya Syekh Utsman bin Hasan Bin Ahmad Asysyakir Al-Hubiri diceritakan. kelak akan ada empat golongan yang berebut masuk pintu surga terlebih dahulu, yakni orang alim, syahid, orang kaya, serta haji mabrur. Saking serunya pertikaian dan perebutan itu, Allah Swt. bahkan mengutus Malaikat Jibril untuk menjadi juru penengah.
Yang pertama kali ditanya oleh Malaikat Jibril adalah orang yang mati syahid, "Apa alasan perbuatanmu semasa di dunia sehingga engkau merasa berhak masuk surga lebih dulu?"
"Saya terbunuh dalam peperangan demi membela agama dan mencari ridla Allah. Tersebab itulah saya merasa berhak masuk surga terlebih dulu."
"Dari mana nformasi tentang mati syahid itu kau peroleh?" tanya Malalikat Jibril.
"Tentu saja dari guru-guru saya."
"Tidakkah kau malu masuk surga lebih dulu, sedangkan semua ilmu itu kau dapatkan dari gurumu, dari orang alim?"
Si Mati Syahid terdiam dan mundur teratur.
Pertanyaan dan jawaban yang sama disampaikan malaikat pada orang kaya dan haji mabrur. Dan ketika orang alim dipersilahkan masuk terlebih dulu ke surga meski tanpa melewati proses pertanyaan seperti tiga orang sebelumnya, dengan tegas ia menolak, "Saya hanya menyampaikan ilmu Allah Swt. Saya tak akan berarti apa-apa tanpa kedermawanan orang kaya."
Begitulah, sampai kapanpun guru tetaplah guru. Ia adalah pemegang obor dalam perjalanan panjang sejarah kemanusiaan. Jika keputusan menjadi guru itu memang dilandasi keinginan mengabdikan diri membersamai anak bangsa menjadi manusia seutuhnya, Tuhan pasti memiliki caranya sendiri. Tapi jika niat menjadi guru adalah demi keuntungan duniawi, segeralah berhenti, terutama untuk guru honorer, karena gaji guru honorer sama sekali tak bisa diandalkan agar dapur bisa tetap mengepul.(*)
Penulis: Em.Syuhada', Kepala SD Negeri Cangkring
